Makassar, GANLOP.COM – Rangkaian Program Literasi Digital “Indonesia Makin Cakap Digital” di Sulawesi, yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia dan Siberkreasi bersama Dyandra Promosindo, dilaksanakan secara virtual pada 26 Juni di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Kolaborasi ketiga lembaga ini dikhususkan pada penyelenggaraan Program Literasi Digital di wilayah Sulawesi. Adapun tema kali adalah “Berekspresi dengan Aman dan Nyaman di Dunia Digital”. Kegiatan kali ini diikuti oleh 791 peserta dari berbagai kalangan.
Program kali ini menghadirkan jumlah narasumber, yaitu Karlina Octaviany selaku antropolog digital dan BTS Army Indonesia; Aan Mansur yang dikenal sebagai seorang penulis; Bobby Pramusdi, drummer Kapal Udara; serta Vincent Cokronegoro selaku Project Manager SKENA Wahana Kreatif. Adapun yang bertindak sebagai moderator adalah Artha Sena, seorang jurnalis. Rangkaian Program Literasi Digital “Indonesia Makin Cakap Digital” di Sulawesi menargetkan peserta sebanyak 57.550 orang.
Pemateri pertama adalah Karlina Octaviany yang membawakan tema “Digital Skill dan Online Learning”. Ia mengawali paparannya tentang dua definisi informasi, yaitu misinformasi dan disinformasi. Misinformasi diartikan sebagai informasi yang salah, tetapi tidak ditujukan untuk membuat kesalahan, sedangkan disinformasi adalah informasi yang salah dan rancu yang sengaja disebarluaskan untuk tujuan tertentu. “Lalu, bagaimana kita bisa mengatasi masalah misinformasi dan disinformasi ini? Pertama, cari akun terpercaya untuk diikuti (follow) atau akun resmi. Lalu berhati-hati pada media tertentu dan pembingkaian (framing) media. Kedua, evaluasi informasi dan aku yang diikuti. Selain itu, jangan ragu untuk meriset lebih jauh tentang informasi yang kita peroleh dan akun yang kita ikuti,” katanya.
Berikutnya, Aan Mansur menyampaikan materi berjudul “Hate Speech: Identifikasi Konten, dan Regulasi yang Berlaku”. Ia menyinggung soal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang bak pisau bermata dua. Selain menjadi sebuah wahana regulasi, UU ini juga seakan tidak bisa membedakan mana kritikan dan mana pencemaran nama baik. Dampaknya, daya kritis seseorang bisa mati lantaran khawatir UU ini akan memenjarakannya. “Selain itu, sebaiknya berpikir ulang sebelum memposting sesuatu. Jangan mengatakan sesuatu yang sebenarnya Anda tidak ingin mengatakan kepada seseorang secara langsung. Jangan membagikan sesuatu yang bukan milik Anda tanpa seizin pemiliknya. Jangan mudah percaya terhadap apa yang Anda baca. Terakhir, jangan habiskan waktu Anda untuk berselancar di dunia maya,” ujarnya.
Sebagai pemateri ketiga, Bobby Pramusdi membawakan tema tentang “Digital Culture: Memahami Batasan dalam Berekspresi di Dunia Digital”. Menurut Boby, digital culture (budaya digital) adalah masuknya internet dalam kehidupan keseharian manusia. Budaya digital membawa dampak baik dan dampak buruk. Kebaikannya adalah dunia menjadi transparan dan komunikasi bisa dilakukan tanpa dibatasi jarak, ruang, dan waktu. Selain itu, apa yang terekam di internet akan selamanya ada dan mudah dicari. Sementara keburukannya adalah tidak jelas lagi mana fakta, kabar bohong, maupun informasi yang benar. “Selain itu, nyaris tak ada lagi batas-batas privasi di dunia maya,” ucapnya.
Adapun Vincent Cokronegoro, sebagai pemateri terakhir, menyampaikan tema mengenai “Digital Safety: Dunia Maya dan Rekam Jejak Digital”. Ia mengungkapkan bahwa dalam setiap aplikasi yang tertanam di gawai, baik itu ponsel atau laptop, memiliki sistem algoritma yang mampu merekam dan membaca seluruh aktivitas pengguna dalam gawai tersebut. “Begitu menggunakan internet atau media sosial, setiap orang pasti meninggalkan jejak digital. Masalahnya, banyak orang yang belum sadar mengenai risiko berbahaya lewat jejak digital yang ditinggalkan,” katanya.
Setelah seluruh narasumber memaparkan materi masing-masing, kegiatan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dipandu moderator. Liana, salah satu peserta webinar, bertanya tentang bagaimana cara membedakan informasi yang sebetulnya masuk kategori disinformasi. Mengenai hal itu, Karlina kembali menegaskan agar tidak lelah memverifikasi dan meneliti sebuah informasi dari berbagai sumber. Cara tersebut bisa mengurangi kesalahpahaman atau dapat juga meningkatkan kevalidan sebuah informasi.
Program Literasi Digital “Indonesia Makin Cakap Digital” di Sulawesi akan diselenggarakan secara virtual mulai dari Mei 2021 hingga Desember 2021 dengan berbagai konten menarik dan materi yang informatif yang disampaikan narasumber terpercaya. Bagi masyarakat yang ingin mengikuti sesi webinar selanjutnya, informasi bisa diakses melalui https://www.siberkreasi.id/ dan akun sosial media @Kemenkominfo dan @siberkreasi, serta @siberkreasisulawesi khusus untuk wilayah Sulawesi.
Comment